Paradigma Ideologi Pendidikan Kritis


      Suatu pendidikan dikatakan pendidikan kritis apabila pendidikan tersebut menjadi arena untuk melakukan perlawanan terhadap politik ideologi yang berkuasa. Pendidikan ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada.
Kemudian munculah ideology pendidikan kritis sebagai tandingan liberalisme pendidikan. Paradigma kritis memaknai pendidikan sebagai upaya refleksi kritis terhadap “the dominant ideology ” ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis bukan pendidikan  yang mengambil jarak dengan masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan masyarakat dan tidak netral, namun memihak rakyat tertindas (marginal).
Visinya adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan, terutama liberalism sekarang sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil. Sebagai penentang utama liberalisme, maka pendidikan kritis berupaya “memanusiakan” kembali manusia akibat dehumanisasi sistem liberal yang tak adil (O’neill, 2002).
Pendidikan alternatif yang muncul belakangan di Indonesia pascareformasi pada hakikatnya merupakan bentuk dari konsep pendidikan kritis. Pemikiran kritis ini di Barat yang memang terang-terangan menentang kaum kapitalis-liberalis. Dalam pendidikan, pemikiran kritisisme dipopulerkan salah satunya oleh Paulo Freire (1921-1997) di Brazil yang terkenal dengan teori kesadarannya yaitu kesadaran magis, kesadaran naïf, dan kesadaran kritis.
Paulo Freire dikatakan sebagai tokoh pendidikan kritis karena pemikirannya yang menolak pendidikan sebagai media pengukuhan sistem ideologi, politik, dan ekonomi yang dominan dengan teori perlawanannya bahwa pendidikan yang ada adalah pendidikan model bank. Bagi Freire pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menciptakan tatanan hidup yang baru, dinamis dan mensejahterakan.
Selaras dengan itu, apa yang dikatakan Erich fromm (salah satu pemikir dari mazhab Frankfurt) mengatakan bahwa pendidikan perlu sekiranya mengedapankan nilai-nilai kemanusaiaan dalam proses transformasi pendidikan (Humanism Education). Proses menjadikan manusia berfikir kritis merupakan keharusan untuk mengungkap sebuah kebenaran tentang segala sesuatu yang ada di alam kosmos ini, tak terkecuali kritis terhadap segala bentuk sistem yang menafikan hakekat Humansime yang jauh dari keberpihakan. Di Indonesia kita dapat melihat tumbuhnya beberapa model pendidikan kritis di akar rumput. Pendidikan alternatif seperti yang didirikan Bahruddin di Kalibening Salatiga dengan SLTP Qaryah Tayyibah-nya terbukti mampu menyadarkan masyarakat dan siswa bahwa mereka ternyata mampu mandiri dan akhirnya tidak minder ketika menghadapi mereka yang berasal dari sekolah formal.
Hal yang sama juga dilakukan oleh budayawan Cak Nun dengan Kiai Kanjengnya yang setiap turun ke akar rumput berupaya menggugah kesadaran masyarakat akan realitas dan problem sosial yang mereka hadapi. Cak Nun selalu membakar semangat masyarakat bahwa ketidakadilan akibat system liberal harus dilawan dan masyarakat sebenarnya mampu, hanya saja selama ini dibodohi terus.
Kita sering mengotak-atik metode pembelajaran, fasilitas pembelajaran, dan kurikulumnya, tapi tidak pernah mengkaji secara serius determinan pendidikan utama, yaitu filosofi dan ideologinya. Akhirnya yang terjadi adalah mismatch antara realitas empiris, ideologi yang diambil, kebijakan yang dirumuskan serta penerapannya. Akhirnya, kesadaran kritis kitalah yang mampu menyingkap realita yang terjadi pada proses pendidikan di negeri ini. Dimana, landasan filosofis pendidikan dan ideologi pendidikan harus di maknai lebih kontekstual dalam membangun tatanan moral masyarakat yang lebih baik. di samping, itu proses kemanusiaan dalam sistem pendidikan harus menjadi sebuah kesadaran kolektif. Sehingga hakekat pendidikan dan kemanusiaan berjalan selaras, meminjam istilah Erich Fromm “Mencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala”.

0 comments:

Post a Comment